Apakah perintah berdo’a kepada kedua orangtua dengan doa ini khusus bagi kedua orangtua yang muslim ataukah juga mencakup kedua orangtua yang kafir??
Ada dua pendapat dalam permasalahan ini dikalangan para ahli tafsir.
Pendapat pertama, bahwasanya perintah ini hanyalah khusus untuk kedua orang tua yang beragama Islam adapun jika kedua orangtua kafir maka ayat ini telah dimansukh dengan firman Allah
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (QS. At Taubah [9]:113)
Dan pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Qotadah yaitu seluruh perintah untuk berbuat baik kepada orangtua yang terdapat dalam ayat ini berlaku umum mencakup kedua orangtua yang kafir kecuali perintah untuk mendoakan rahmat bagi mereka berdua.
Pendapat kedua, bahwasanya ayat ini tidak dimansukh dengan ayat (QS 9:113) karena ayat ini berkaitan meminta kepada Allah agar merahmati mereka berdua di dunia selama mereka berdua masih hidup.
Atau dikatakan bahwa ayat ini umum yaitu perintah untuk mendoakan rahmat bagi kedua orangtua umum mencakup doa untuk meminta Allah merahmati mereka berdua di dunia dan juga di akhirat, kemudian dikhususkan dengan ayat (QS 9:113) sehingga tetap boleh berdoa dengan doa ini jika kedua orang tua kafir dan masih hidup namun yang dimaksud dengan sang anak adalah meminta kepada Allah untuk merahmati mereka berdua di dunia. Terlebih lagi ada pendapat yang menyatakan bahwa sebab turunnya perintah untuk berdoa ini berkaitan dengan kisah Sa’ad bin Abi Waqqosh yang tatkala ia masuk Islam maka ibunyapun menghamparkan dirinya di atas pasir yang panas dalam keadaan telanjang, lalu sampailah kabar ini kepada Sa’ad lalu ia berkata, “Biar saja ia mati” maka turunlah ayat ini { وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً } ((dan ucapkanlah:”Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”)). Pendapat yang kedua ini dipilih oleh Imam Al-Qurthubhi dalam tafsirnya[1]
Keutamaan Berbakti Kepada Orangtua
Pertama: Berbakti kepada orangtua merupakan sifat para Nabi
Allah telah memuji nabi Yahya ‘alaihissalam dengan menyebutkan sifatnya yang berbakti kepada orangtuanya
}وَبَرّاً بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّاراً عَصِيّاً{ (مريم:14)
dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia seorang yang sombong lagi durhaka. (QS. 19:14)
Allah juga menyebutkan sifat nabi Isa alaihissalam yang berkata
}وَبَرّاً بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّاراً شَقِيّاً{ (مريم:32)
dan aku berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (QS. 19:32)
Kedua : Berbakti kepada orangtua lebih afdhol daripada berjihad fi sabilillah (jika jihad tersebut hukumnya fardhu kifayah).
Islam telah menjadikan berbakti kepada orangtua lebih baik dan lebih mulia dibandingkan jihad fi sabilillah jika hukum jihad tersebut adalah fardhu kifayah padahal barangsiapa yang mati syahid maka ia masuk surga sebagaimana sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya:
ما أحد يدخل الجنة يحب أن يرجع إلى الدنيا وله ما على الأرض من شيء إلا الشهيد يتمنى أن يرجع إلى الدنيا فيقتل عشر مرات لما يرى من الكرامة
“Tidak seorangpun yang masuk surga ia menghendaki dikembalikan ke dunia dan baginya apa saja yang ada di dunia kecuali orang yang mati syahid, ia menginginkan untuk kembali ke dunia lalu iapun terbunuh sepuluh kali karena ia mengetahui karomah jihad”[2]
Hadits ini menunjukan akan keutamaan jihad, namun meskipun demikian berbakti kepada kedua orangtua lebih mulia daripada jihad.
عن عبد الله بن عمرو قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فاستأذنه في الجهاد فقال أحي والداك قال نعم قال ففيهما فجاهد
Dari Abdullah bin ‘Amr ia berkata, “Datang seorang pria kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia meminta idzin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berjihad, maka Nabipun berkata, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?”, pria itu berkata, “Iya”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berjihadlah kepada kedua orangtuamu”[3]
Ibnu Hajar berkata, “Yaitu keluarkanlah kemampuanmu untuk bebakti dan berbuat baik kepada mereka berdua karena hal itu kedudukannya bagimu seperti engkau berjihad memerangi musuh”[4]
عن عبد الله قال سألت النبي صلى الله عليه وسلم أي العمل أحب إلى الله قال الصلاة على وقتها قال ثم أي قال ثم بر الوالدين قال ثم أي قال الجهاد في سبيل الله
Dari Abdillah bin Mas’ud, ia berkata, “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam amalan apakah yang palin dicintai oleh Allah?”, beliau berkata, “Sholat pada waktunya”, Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kemudian apa”, beliau berkata, “Kemudian berbakti kepada kedua orangtua”, Ibnu Mas’ud berkata, “Kemudian apa?”, beliau berkata, “Jihad fi sabilillah”[5]
عن معاوية بن جاهمة السلمي أن جاهمة جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أردت أن أغزو وقد جئت أستشيرك فقال هل لك من أم قال نعم قال فالزمها فإن الجنة تحت رجليها
Dari Mu’awiyah bin Jahimah As-Sulami bahwasanya Jahimah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Ya Rasulullah, aku hendak berjihad, aku menemuimu untuk meminta pendapatmu”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Senantiasalah bersamanya, sesungguhnya surga berada di bawah kedua kakinya”[6]
Hal ini menunjukan bahwa sang anak harus merendah (tawadu’) dihadapan ibunya dan bahwasanya sang anak bisa meraih surga dengan memperoleh keridhoan ibunya
Fatwa Syaikh Bin Baz
Soal no 15, “Saya adalah orang yang suka berjihad dan kecintaan terhadap jihad telah merasuk di dalam hatiku dan aku tidak bisa menahan diriku untuk segera berjihad. Aku telah meminta idzin kepada ibuku namun ia tidak setuju dan aku sangat sedih sekali, aku tidak mampu untuk menjauh dari jihad. Wahai Syaikh yang mulia sesungguhnya angan-anganku dalam hidup ini hanyalah berjihad di jalan Allah dan agar aku mati di jalan-Nya namun ibuku tidak setuju, maka tunjukilah aku pada jalan yang sesuai, semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu.
Syaikh Bin Baz menjawab ((Jihadmu kepada ibumu adalah jihad yang agung, maka teruslah bersama ibumu dan berbuat baiklah kepadanya kecuali jika pemerintah memerintahkan engkau untuk berjihad maka segeralah karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ((Dan jika kalian diserukan untuk keluar berjihad maka keluarlah untuk berjihad)). Dan selama pemerintah tidak memerintahkanmu untuk berjihad maka berbuat baiklah kepada ibumu dan sayangilah ia. Ketahuliah bahwasanya berbakti kepada ibumu lebih agung daripada jihad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendahulukannya di atas jihad fi sabilillah sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang shahih bahwasanya dikatakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah amalan apakah yang paling mulia?”, ia berkata, “Beriman kepada Allah dan Rasulnya”, kemudian apa?, ia berkata, “Berbakti kepada kedua orangtua”, kemudian apa?, ia berkata, “Jihad di jalan Allah”, hadits ini disepakati akan keshahihannya. Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan berbakti kepada kedua orangtua diatas jihad fi sabilillah.
Dan datang seseorang memita idzin kepada Rasulullah dan berkata, “Aku ingin untuk berjihad bersamamu”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?”, ia berkata, “Iya”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Maka jihadlah kepada mereka berdua”. Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kembalilah dan minta idzinlah kepada mereka berdua, jika mereka mengidzinkanmu (maka berjihadlah) dan jika tidak maka berbaktilah kepada keduanya. Sayanglah kepada ibumu dan berbuat baiklah kepadanya hingga ia mengidzinkanmu dan ini semua berkaitan dengan hukum jihad tolab dan jihad yang tidak diperintahkan oleh pemerintah. Adapun jika musuh telah datang padamu maka belalah dirimu dan saudara-saudaramu seiman dan tidak ada kekuatan dan tidak ada perubahan kecuali dengan pertolongan Allah. Dan jika pemerintah memerintahkan engkau untuk berjihad maka berjihadlah meskipun tanpa keridhoan ibumu berdasarkan firman Allah
}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ إِلاّ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَاباً أَلِيماً وَيَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ وَلا تَضُرُّوهُ شَيْئاً وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ{ (التوبة38-39)
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu :”Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu meresa berat dan ingin tinggal ditempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 9: 38-39)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Dan jika kalian diperintahkan untuk berjihad maka berjihadlah)) (HR Al-Bukhari dan Muslim)”))[7]
Ketiga : Berbakti kepada kedua orangtua lebih diutamakan daripada sholat sunnah
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لم يتكلم في المهد إلا ثلاثة عيسى وكان في بني إسرائيل رجل يقال له جريج كان يصلي (في رواية : في صومعة) جاءته أمه فدعته (وفي رواية مسلم: فقالت يا جريج أنا أمك كلمني) فقال أجيبها أو أصلي (وفي رواية قال: أللهم أمي وصلاتي) (وفي رواية مسلم: فاختار صلاته فرجعت ثم عادت في الثانية فقالت يا جريج أنا أمك فكلمني قال اللهم أمي وصلاتي فاختار صلاته) فقالت اللهم لا تمته حتى تريه وجوه المومسات (وفي رواية مسلم: فقالت اللهم إن هذا جريج وهو ابني وإني كلمته فأبى أن يكلمنى اللهم فلا تمته حتى تريه المومسات قال ولو دعت عليه أن يفتن لفتن ) وكان جريج في صومعته فتعرضت له امرأة وكلمته فأبى فأتت راعيا (وفي رواية : راعي الغنم) فأمكنته من نفسها فولدت غلاما فقالت من جريج فأتوه فكسروا صومعته وأنزلوه وسبوه فتوضأ وصلى ثم أتى الغلام فقال من أبوك يا غلام قال الراعي قالوا نبني صومعتك من ذهب قال لا إلا من طين وكانت امرأة ترضع ابنا لها من بني إسرائيل فمر بها رجل راكب ذو شارة فقالت اللهم اجعل ابني مثله فترك ثديها وأقبل على الراكب فقال اللهم لا تجعلني مثله ثم أقبل على ثديها يمصه قال أبو هريرة كأني أنظر إلى النبي صلى الله عليه وسلم يمص إصبعه ثم مر بأمة فقالت اللهم لا تجعل ابني مثل هذه فترك ثديها فقال اللهم اجعلني مثلها فقالت لم ذاك فقال الراكب جبار من الجبابرة وهذه الأمة يقولون سرقت زنيت ولم تفعل
Dari Abu Huroiroh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Tidak ada yang berbicara ketika bayi kecuali tiga orang Isa, dan dahulu di kalangan bani Israil ada seorang pria yang bernama Juraij. Suatu hari ia sedang sholat (dalam riwayat lain : Di shaouma’ahnya[8]”) lalu datanglah ibunya dan memanggilnya (dalam riwayat Muslim ibunya berkata, “Wahai Juraij saya adalah ibumu, bicaralah kepadaku”) maka Juraij berkata “Aku menjawab panggilan ibuku ataukah aku terus sholat (dalam riwayat Bukhori yang lain ia berkata, “Ya Allah ibu atau sholatku”[9]), (Dalam riwayat Muslim, “Akhirnya Juraijpun memilih untuk terus sholat, kemudian ibunya kembali memanggilnya untuk kedua kalinya[10] dan berkata, “Wahai Juraij aku adalah ibumu bicaralah kepadaku”, Juraij berkata, “Ya Allah ibu atau sholatku”, akhirnya iapun memilih untuk terus sholat), maka ibunya berkata, “Ya Allah janganlah engkau wafatkan Juraij hingga ia melihat wajah-wajah pelacur” (Dalam riwayat Muslim, lalu ibunya berkata, “Ya Allah ini adalah si Juraij dan ia adalah anakku, aku telah memanggilnya namun ia enggan untuk berbicara denganku, Ya Allah janganlah engkau mewafatkannya hingga engkau menampakkan kepadanya pelacur”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Seandainya ibunya berdoa agar si Juraij terfitnah (berzina) maka ia akan terfitnah). Pada suatu hari ia sedang berada di shauma’ahnya lalu datanglah seorang wanita dan menyerahkan dirinya (untuk berzina) dan mengajaknya berbicara namun Juraij enggan untuk berbicara dengannya maka sang wanitapun mendatangi seorang penggembala (dalam riwayat yang lain, “penggembala kambing”) lalu ia membuatnya untuk mau berzina dengannya lalu iapun melahirkan seorang anak kemudia ia mengaku bahwa anak tersebut adalah hasil perzinahannya dengan Juraij maka masyarakatpun mendatangi Juraij dan menghancurkan tempat ibadahnya, mereka menurunkannya dari tempat ibadahnya dan mencacinya lalu Juraijpun berwudhu dan sholat, lalu ia mendatangi sang anak dan bertanya kepada anak tersebut seraya berkata, “Nak, siapakah ayahmu?”, lalu anak itu menjawab, “Penggembala”. Lalu masyarakat (setelah mengetahui hal ini mereka) berkata, “Kami akan membangun (kembali) kuil tempat ibadahmu dari emas”, ia berkata, “Jangan, kecuali kalian membangunnya dari tanah”
Dan ada seorang wanita menyusui seorang anak dari bani Israil lalu lewatlah seorang penunggang yang berpenampilan bagus maka wanita tersebut berkata, “Ya Allah jadikanlah putraku ini seperti orang ini”, lalu sang anak melepaskan susu ibunya dan menghadap kearah penunggang tersebut lalu berkata’ Ya Allah janganlah jadikan seperti orang ini”, kemudian kembali ke susu ibunya dan mengisapnya. Abu Hurairah berkata, “Sepertinya aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisap jarinya”, lalu lewatlah seorang budak wanita lalu sang ibu berkata, “Ya Allah jangan jadikan putraku seperti budak wanita ini”, maka sang anakpun meninggalkan susu ibunya dan menghadap kepada sang budak wanita lalu berkata, “Ya Allah jadikanlah aku seperti budak wanita ini”. Sang ibu berkata kepada sang anak, “Kenapa engkau demikian?”, sang anak berkata, “Adapun penunggang sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang sombong, adapun sang budak wanita sesungguhnya orang-orang mengatakan “Wanita ini pencuri, wanita ini pezina” namun ia tidak melakukannya))[11]
Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini merupakan dalil tentang mendahulukan menjawab panggilan ibu daripada sholat sunnah karena meneruskan sholat sunnah hukumnya adalah mustahab adapun menjawab panggilan ibu dan berbakti kepadanya hukumnya adalah wajib” [12]
Imam An-Nawawi dan yang lainnya berkata, “Hanyalah sang ibu mendoakan kejelekan terhadap Juraij karena sebenarnya bisa saja bagi Juraij untuk meringankan (mempercepat) sholatnya kemudian menjawab panggilan ibunya namun mungkin saja ia khawatir bahwa ibunya memanggilnya untuk meninggalkan kuilnya dan untuk kembali kepada dunia dan ketergantungan-ketergantungan kepada dunia”
Berkata Ibnu Hajr, “Namun perkataan Imam An-Nawawi ini perlu dicek kembali mengingat apa yang telah lalu penjelasannya bahwa ibunya pernah mendatangi Juraij dan Juraij berbicara kepadanya, yang dzohir ibunya tatkala itu rindu kepadanya lalu iapun mengunjungi Juraij dan ingin melihat Juraij dan berbicara dengannya, seakan-akan Juraij tidak mempercepat sholatnya untuk menjawab ibunya karena ia khawatir akan terputus kekhusyu’annya, dan telah lalu di akhir kitab sholat dari hadits Yazid bin Hausyab dari ayahnya bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لو كان جريج فقيها لعلم أن إجابة أمه أولى من عبادة ربه
“Kalau seandainya Juraij adalah seorang yang faqih maka ia tentunya akan mengetahui bahwa menjawab ibu lebih utama daripada ibadahnya kepada Robnya (daripada sholatnya)”
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Hasan bin Sufyan”[13]
Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menunjukan akan agungnya berbakti kepada kedua orangtua dan menjawab panggilan mereka berdua meskipun sang anak ber’udzur”[14]
Bersambung…
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Tafsir Al-Qurthubhi 10/244-245
[2] HR Al-Bukhari 3/1037 no 2662 bab تمني المجاهد أن يرجع إلى الدنيا, Muslim 3/1498 no 1877, dari hadits Anas bin Malik
[3] HR Al-Bukhari 3/1094 no 2842 bab الجهاد بإذن الأبوين , 5/2228 no 5627 bab لا يجاهد إلا بإذن الأبوين, Muslim 4/1975 no 2549
[4] Fathul Bari 10/403
[5] HR Al-Bukhari 1/197 no 504, bab فضل الصلاة لوقتها, Muslim 1/89 no 85
[6] HR An-Nasai 6/11 no 3104, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Silsilah Ad-Dho’ifah 2/59 no 593)
[7] Dari Fatawa Syaikh Bin Baz
[8] HR Al-Bukhari 1/404 no 1148 bab إذا دعت الأم ولدها في الصلاة, shauma’ah adalah nama tempat ibadah seorang rahib (kuil)
[9] Berkata Ibnu Hajar, “Maknanya adalah “Ya Allah telah terkumpulkan padaku memenuhi panggilan ibuku dan meneruskan/menyempurnakan sholat maka berilah petunjuk kepadaku untuk memilih yang terbaik diantara keduanya” (Fathul Bari 6/480)
[10] Dalam riwayat Bukhari 1/404 no 1148, sang ibu memanggilnya tiga kali
[11] HR Al-Bukhari 3/1268 no 3253
[12] Fathul Bari 6/482, berkata Ibnu Hajar, “Jika kita bawakan pada kemutlakannya maka bisa diambil faedah dari hadits ini bolehnya memutuskan sholat secara mutlaq untuk menjawab panggilan ibu apakah sholat tersebut adalah sholat sunnah ataukah sholat wajib, dan ini adalah salah satu pendapat madzhab Asy-Syafi’i sebagaimana dihikayatkan oleh Ar-Ruyani (ada tiga pendapat di madzhab Syafi’iyah sebagaimana yang dihikayatkan oleh Ar-Royani dalam kitabnya Al-Bahr tentang hukum menjawab panggilan salah seorang dari kedua orangtua, yang pertama tidak wajib wajib untuk dijawab, yang kedua wajib dijawab dan sholatnya batal, yang ketiga wajib dan sholatnya tidak batal, lihat Umdatul Qori’ 7/283-pen),… Imam An-Nawawi berkata (sebagaimana pendapat yang lainya yang diikuti oleh Imam An-Nawawi seperti Ibnu Batthol, lihat Al-Fath 3/78), “Hadits ini dibawakan kepada bahwa hal ini (berbicara tatkala sholat) hukumnya boleh di syari’at bani Israil” dan hal ini perlu di cek kembali…pendapat yang paling benar menurut madzhab Syafi’iyah yaitu jika sholatnya adalah sholat sunnah dan diketahui bahwa sang ibu akan merasa sakit jika tidak dijawab panggilannya maka wajib untuk di jawab, dan jika tidak maka tidak wajib. Dan jika sholatnya sholat wajib dan waktu sholat mau habis maka tidak wajib menjawab panggilan orangtua dan waktu sholat masih panjang maka menurut Imamul haromain wajib untuk menjawab panggilan orangtua, namun ia diselisihi oleh ulama yang lain. Adapun menurut madzhab Malikiah menjawab panggilan orangtua ketika sholat sunnah lebih baik daripada meneruskan sholat” (Al-Fath 6/483)
Berkata Ibnu Hajar, “ Yang dzohir dari sikap Juraij yang bimbang dengan perkataannya (dalam hatinya) “Ya Allah, aku menjawab ibuku atau aku teruskan sholatku” menunjukan bahwa berbicara menurut Juraij adalah membatalkan sholat oleh karena itu Juraij tidak menjawab panggilan ibunya” (Al-Fath 3/78)
[13] Fathul Bari 6/482, berkata Ibnu Hajar, “Si Yazid (bin Hausyab) ini majhul” (Al-Fath 3/78)
[14] Fathul Bari 6/483, Lihatlah bagaimana terkabulnya doa seorang ibu, padahal Juraij tidak menjawab panggilan ibunya karena sibuk beribadah, padahal iapun memilih untuk terus sholat setelah meminta taufiq dari Allah (yaitu ia tidaklah meneruskan sholatnya dan tidak menjawab panggilan ibunya kecuali setelah berijtihad), namun demikian doa ibunya terkabul. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kalau seandainya ibunya berdoa agar Juraij terfitnah dengan wanita pelacur (berzina) maka Allah akan mengabulkannya. Maka bagiamanakah lagi jika seorang anak durhaka kepada orangtuanya karena urusan dunia, bagaimanakah lagi jika karena sibuk bermaksiat kepada Allah….Allahulmusta’an
Ibnu Hajar meyebutkan faedah-faedah dari hadits ini diantaranya:
1. Bersikap lembut dan kasih sayang kepada pengikut jika ia melakukan kesalahan yang mengharuskannya untuk diberi pelajaran, karena ibu si Juraij meskipun dalam keadaan marah ia tidak mendoakan kejelekan atas si Juraij kecuali khusus doa yang disebutkannya itu. Kalau bukan karena kasih sayangnya kepada Juraij tentu ia akan mendoakan agar Juraij terjerumus dalam perzinahan.
2. Seorang yang benar-benar beribadah kepada Allah tidak akan menimpanya mudorot dengan fitnah-fitnah yang ada
3. Kisah ini menunjukan kuatnya keyakinan si Juraij dan benarnya pengharapannya karena ia meminta sang bayi untuk berbicara padahal secara adat anak kecil (bayi) itu tidak bisa berbicara.
4. Jika ada dua perkara yang bertabrakan maka didahulukan yang lebih penting dari pada keduanya
5. Allah menjadikan jalan keluar bagi para walinya tatkala mereka ditimpa ujian, dan terkadang terlambat datangnya jalan keluar tersebut pada sebagian orang dalam rangka untuk mengatur mereka dan menambah pahala mereka.
6. Wudhlu bukanlah merupakan kekhususan umat ini, yang merupakan kekhususan umat ini adalah gurroh dan tahjil.
7. Kisah ini dijadikan dalil oleh Malikiah bahwasanya barangsiapa yang berzina dengan seorang wanita kemudian wanita tersebut melahirkan seorang anak wanita maka haram baginya untuk menikahi anak tersebut, berbeda dengan pendapat Syafi’iyah dan Ibnu Majisun (dari Malikiyah) karena Juraij dalam kisah ini menisbahkan sang anak zina terebut kepada ayah zinanya, Juraij berkata ,”Nak siapakah ayahmu?”, dan anak itu juga berkata, “Ayahku adalah penggembala kambing”. Allah membenarkan penisbahan ini dengan keanehan yang Allah berikan kepada sang bayi yang berbicara.